Relasi Negara dan Agama


Oleh: Yasser Arafat, SH.


Agama saat ini merupakan realitas yang berada di sekeliling manusia. Masing-masing manusia memiliki kepercayaan tersendiri akan agama yang dianggapnya sebagai sebuah kebenaran. Agama yang telah menjadi kebutuhan dasar manusia ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial manusia tersebut.


Agama juga diyakini tidak hanya berbicara soal ritual semata melainkan juga berbicara tentang nilai-nilai yang harus dikonkretkan dalam kehidupan sosial. Termasuk dalam ranah ketatanegaraan muncul tuntutan agar nilai-nilai agama diterapkan dalam kehidupan bernegara. Masing-masing penganut agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. (Anshari Thayib, 1997: v)


Munculnya tuntutan konkretisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara memunculkan perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai relasi antara negara dan agama. Banyak pendapat yang dikeluarkan oleh para ahli dalam menempatkan posisi agama dalam kehidupan bernegara. Hampir setiap fase dalam sejarah sebuah bangsa selalu saja muncul persoalan ini.


Para ahli merumuskan beberapa teori untuk menganalisa relasi antara negara dan agama yang antara lain dirumuskan dalam 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, paradigma sekularistik.


1)      Paradigma Integralistik (Unified Paradigm)


Secara umum teori integralistik dapat dinyatakan sebagai kesatuan yang seimbang dan terdiri dari berbagai entitas. Entitas disini memiliki sifat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu tidak berarti saling menghilangkan justru saling melengkapi, saling menguatkan dan bersatu.


Dalam kaitannya dengan relasi negara dan agama, menurut paradigma integralistik, antara negara dan agama menyatu (integrated). Negara selain sebagai lembaga politik juga merupakan lembaga keagamaan.


Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi” (divine sovereignty), karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di ”tangan Tuhan”. (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 24)


Paradigma integralistik ini memunculkan paham negara agama atau Teokrasi. Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan Agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan. (http://cakwawan.wordpress.com/2007/09/25/jalan-tengah-relasi-agama-dan-negara/) Menurut Roeslan Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2009: 9), menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal dari Tuhan.


Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara atau raja yang diyakini memerintah atas kehendak Tuhan. (http://tienkrahman.blogspot.com/2010/05/agama-dan-negara.html)


2)      Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm)


Secara umum, teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua entitas yang saling menguntungkan bagi peserta hubungan. Dalam konteks relasi negara dan agama, bahwa antara negara dan agama saling memerlukan.


Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual. (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 24)


Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara. (Adi Sulistiyono, 2008: 2)


Marzuki Wahib dan Rumadi membagi Paradigma Simbiotik ini menjadi tiga jenis, yaitu: Agama dan negara mempunyai keterkaitan namun aspek keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga negara demikian lebih dekat ke negara sekular; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara lebih banyak lagi, sehingga sekitar 50% konstitusi negara diisi oleh ketentuan agama; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara sekitar 75%, sehingga negara demikian sangat mendekati negara agama.


Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum Agama. (Agus Thohir, 2009:4)


3)      Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)


Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 28)


Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama. (Agus Thohir, 2009: 4)


Paradigma ini memunculkan negara sekuler. Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.


Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama. Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan – urusan Agama (Syari’at). (http://cakwawan.wordpress.com/2007/09/25/jalan-tengah-relasi-agama-dan-negara/)


Relasi Negara dan Agama Menurut Konstitusi Indonesia


Persoalan relasi antara negara dan agama juga ada di dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Relasi negara dan agama di Indonesia selalu mengalami pasang surut karena relasi antar keduanya tidak berdiri sendiri melainkan dipengaruhi oleh persoalan-persoalan lain seperti politik, ekonomi, dan budaya.


Pembahasan mengenai relasi negara dan agama yang akan berlaku di Indonesia sudah dimulai oleh para pendiri bangsa. Menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945, para tokoh pendiri negara dari kelompok Nasionalis Islam dan Nasionalis, terlibat perdebatan tentang dasar filsafat dan ideologi negara Indonesia yang akan didirikan kemudian. The Founding Fathers kita menyadari betapa sulitnya merumuskan dasar filsafat negara Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam etnis, ras, agama serta golongan politik yang ada di Indonesia ini. Perdebatan tentang dasar filsafat negara dimulai tatkala Sidang BPUPKI pertama, yang pada saat itu tampillah tiga pembicara, yaitu Yamin pada tanggal 29 Mei 1945, Soepomo pada tanggal 31 Mei, dan Soekarno pada tanggal 1 Juni, tahun 1945. Berdasarkan pidato dari ketiga tokoh pendiri negara tersebut, persoalan dasar filsafat negara  (Pancasila) menjadi pusat perdebatan antara golongan Nasionalis dan Golongan Islam. Pada awalnya golongan Islam menghendaki negara berdasarkan Syari’at Islam, namun golongan nasionalis tidak setuju dengan usulan tersebut. Kemudian terjadilah suatu kesepakatan dengan ditandatanganinya Piagam Jakarta yang dimaksudkan sebagai rancangan Pembukaan UUD Negara Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945. (Kaelan, 2009: 11-12)


Dalam perkembangan berikutnya ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, atas nama seluruh bangsa Indonesia, kemudian PPKI (Panitia Persiapan Kemrdekaan Indone-sia) yang diketuai oleh Soekarno dan Hatta sebagai wakil ketuanya memulai tugas-tugasnya. Menjelang pembukaan sidang resmi pertamanya pada tanggal 18 Agustus 1945, Hatta mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan UUD dan isinya, dan hal ini dilakukan oleh karena menerima keberatan dari kalangan rakyat Indonesia timur, tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya”. Pada pertemuan bersejarah tersebut, kemudian disetujui dengan melaui suatu kesepakatan yang luhur menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. (Kaelan, 2009: 13-14)


Pendiri negara Indonesia menentukan pilihan yang khas dan inovatif tentang bentuk negara dalam hubungannya dengan agama. Pancasila sila pertama, ”Ketuhanan yang Maha Esa”, dinilai sebagai paradigma relasi negara dan agama yang ada di Indonesia. Selain itu, melalui pembahasan yang sangat serius disertai dengan komitmen moral yang sangat tinggi sampailah pada suatu pilihan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Mengingat kekhasan unsur-unsur rakyat dan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam etnis, suku, ras agama nampaknya Founding Fathers kita sulit untuk menentukan begitu saja bentuk negara sebagaimana yang ada di dunia. (Kaelan, 2009: 24)


Bangsa Indonesia yakin bahwa kemerdekaan yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan semata-mata perjuangan rakyat, namun semua itu tidak akan pernah terwujud jika Tuhan Yang Maha Kuasa tidak menghendakinya. Jadi sejak negara Indonesia lahir, didasari oleh nilai-nilai Ketuhanan. Dalam Pembukaan UUD 1945 alenia ke-empat dinyatakan secara tegas bahwa: ”Kemerdekaan Indonesia adalah berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Selain itu, dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) diperkuat lagi pengakuan negara atas kekuatan Tuhan yang menyatakan bahwa “Negara berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa.”


(http://legal.daily-thought.info/2010/02/relasi-negara-dan-agama-jaminan-kebebasan-beragama-antara-indonesia-dan-amerika-serikat/)


Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (Lukman Hakim Saifuddin, 2009: 9). Menurut Adi Sulistiyono, agama diperlakukan sebagai salah satu pembentuk cita negara (staasidee). (Adi Sulistiyono, 2008: 3)


Namun hal itu bukan berarti bahwa Indonesia merupakan negara teokrasi. Relasi yang terjalin antara negara Indonesia dan agama ialah relasi yang bersifat simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling memberi. Dalam konteks ini,  agama memberikan “kerohanian yang dalam” sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan. (Lukman Hakim Saifuddin, 2009: 10)


Indonesia bukan negara agama melainkan negara hukum. Hukum menjadi panglima, dan kekuasaan tertinggi di atas hukum. Artinya bahwa Undang-Undang dibuat oleh lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, dan Anggota DPR terdiri dari berbagai suku, etnis, agama, jenis kelamin dan sebagainya. Hukum di Indonesia tidak dibuat oleh kelompok agama. Jadi agama tidak pernah mengatur negara, begitu juga sebaliknya negara tidak semestinya mengatur kehidupan beragama seseorang. (http://legal.daily-thought.info/2010/02/relasi-negara-dan-agama-jaminan-kebebasan-beragama-antara-indonesia-dan-amerika-serikat/)


Penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks and balances (saling mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan negara untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap warga negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktek-praktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi negara. (Lukman Hakim Saifuddin, 2009: 10)


Jadi, baik secara historis maupun secara yuridis, negara Indonesia dalam hal relasinya dengan agama menggunakan paradigma pancasila. Mahfud M.D. menyebut pancasila merupakan suatu konsep prismatik. Prismatik adalah suatu konsep yang mengambil segi-segi yang baik dari dua konsep yang bertentangan yang kemudian disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga dapat selalu diaktualisasikan dengan kenyataan masyarakat indonesia dan setiap perkembangannya. Negara Indonesia bukan negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama saja, tetapi negara pancasila juga bukan negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama. Negara pancasila adalah sebuah religions nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi perkembangan semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa pembedaan besarnya dan jumlah pemeluk. (http://wwwgats.blogspot.com/2009/07/fungsi-hukum-sebagai-alat-dan-cermin.html)


———–


Referensi:


Adi Sulistyono. 2008. ”Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum”. Makalah Seminar Hukum Islam dengan Tema Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum yang diselenggarakan oleh FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8 Mei 2008.


Agus Thohir. 2009. ”Relasi Agama dan Negara”. Makalah Diskusi Kajian Spiritual yang diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang, tanggal 4 November 2009.


Anshari Thayib. 1997. HAM dan Pluralisme Agama. Surabaya: Pusat Kajian Strategis dan Kebijakan.


Kaelan. 2009. ”Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”. Makalah. Yogyakarta, tanggal 1 Juni 2009.


Marzuki Wahid & Rumaidi. 2001. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.

1 Comment:

visionring

masalahnya hukum buatan manusia itu relatif bisa dipengaruhi kepentingan manusia. kenyataannya banyak hukum buatan manusia memihak orang-orang kaya, kapitalis dsb.

Post a Comment