Perda Agamis?


Oleh: Yasser Arafat


Pernah ada seorang kawan chating bertanya perihal Perda Syariah, begitu dia menyebutnya. Perda yang menyentuh persoalan-persoalan agama itu sering disebut masyarakat umum sebagai Perda Syariah. Sebenarnya tidak tepat juga jika Perda tersebut dinamakan Perda Syariah. Karena Syariah memiliki makna yang sempit yaitu dalam wilayah agama Islam saja. Sedangkan jika kita melihat realita yang berkembang di Papua sana, pemerintah daerah Manokwari menginginkan adanya Perda yang juga pengaturannya memasuki wilayah-wilayah keagamaan, dalam hal ini agama Krsiten. Akhirnya orang pun menyebutnya sebagai Perda Kota Injil.




Kalau saya pribadi tidak sepakat jika harus menamakan Perda-Perda tersebut sebagai Perda Syariah dan Perda Kota Injil. Saya lebih sepakat jika Perda-Perda tersebut kita namakan sebagai Perda Agamis. Tetapi sebenarnya ini bukan persoalan penting sih, karena hanya sekedar penamaan saja.



Kita kembali ke kawan chating saya. Pada saat chating, ia meminta pendapat saya terkait Perda Syariah.



Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya coba postingkan jawaban saya ini di weblog.



Setiap daerah –baik propinsi, kabupaten/kota– diberikan kewenangan seluas-luasnya untuk mengatur dan memerintah daerahnya masing-masing. Kebijakan ini muncul setelah diterapkannya otonomi daerah yang mulai diberlakukan semenjak disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.



Kebijakan otonomi daerah yang diberlakukan ini kemudian ditafsirkan oleh setiap pemerintah daerah dengan membuat Peraturan Daerah (Perda). Dari banyaknya Perda yang ada, yang paling menyedot perhatian masyarakat luas ialah Perda Syariah, Perda Kota Injil, yang saya sebut sebagai Perda Agamis.



Seperti misalnya Perda Kabupaten Banjar No.4 tahun 2005 tentang Kewajiban Pandai Baca Tulis Al-Quran bagi siswa/siswi SD/MI sederajatya dan Perda Kota Banjarmasin. Di Aceh pun ada Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Penegakan Syariah Islam.



Terlepas dari apakah ada muatan politis dalam Perda-Perda tersebut, karena memang menurut sebagian kalangan, Perda Agamis tersebut sangat bermuatan politis. Persoalan ini –menurut saya– menarik untuk dianalisis dalam kerangka berpikir Hukum Tata Negara.



Diatas telah disebutkan bahwa dasar dari dibuatnya Perda oleh masing-masing Pemerintah Daerah ialah kebijakan otonomi daerah.


Otonomi daerah adalah kebijakan pemerintah republik Indonesia untuk mendistribusikan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing dalam berbagai hal, kecuali :


Ø Politik luar negeri


Ø Pertahanan


Ø Keamanan


Ø Politik luar negeri


Ø Moneter dan Fiskal


Ø Agama


Keenam bidang tersebut diatas merupakan kewenangan pemerintah pusat. Artinya selain enam bidang tersebut berbagai kewenangan yang ada merupakan kewenangan pemerintah daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang dasar 1945 dan juga dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437



Jika kita menghadapkan Perda-Perda Agamis ini pada Peraturan Perundang-undangan diatas saja, sebenarnya kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa Perda Agamis atau Perda yang berdasarkan atas ajaran agama tertentu, tidak diperkenankan untuk dibuat. Karena Pemerintah Daerah tidak memiliki kewenangan untuk membuat Perda tersebut.



Persoalan Agama merupakan kewenangan dari Pemerintah Pusat untuk mengaturnya. Namun Pemerintah Daerah seakan-akan saat ini berlomba-lomba untuk membuat Perda Agamis baik yang berdasarkan ajaran agama Islam maupun Krsiten walaupun sebenarnya secara hukum, Pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan membuat perda agamis.



Jika sudah seperti ini, maka benarkah mereka yang berpendapat bahwa Perda Syariah sarat dengan kepentingan elit politik? Seperti misalnya kasus syariahisasi Aceh. Beberapa kalangan mengatakan bahwa untuk kasus Aceh, yang mengelola daerahnya itu menurut hukum Islam, merupakan bentuk pengakomodasian Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat khawatir NKRI pecah dengan adanya ancaman dari Aceh yang berkeinginan memisahkan diri dari Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah merasa perlu membuat sebuah kebijakan khusus untuk Aceh. Aceh diperkenankan mengatur daerahnya menurut syariat Islam.



Adakah diantara Anda yang memiliki pendapat berbeda? []

2 Kommentarer:

Syahid

Syiah ahlulbait as

Syahid

almawaddah.info

Post a Comment