Mulai Dari Tukang Parkir Sampai UU Perlindungan Konsumen


Oleh: Yasser Arafat


Pengalaman yang sudah aku alami bisa jadi juga pernah dialami oleh orang lain. Fenomena tukang parkir saat ini bisa kita jumpai hampir di sudut-sudut jalan perkotaan maupun pedesaan. Saat ini tukang parkir tidak hanya berada di gedung-gedung bertingkat, lapangan, pusat-pusat perkotaan, sekarang tukang parkir ini dapat kita jumpai di warung-warung makan di pinggir jalan.




Sepanjang yang aku ketahui, retribusi parkir yang aku jumpai di tempat-tempat keramaian kota, selalu menggunakan karcis resmi dan juga seragam tukang parkir yang resmi. Biasanya, tarif parkir pun ditentukan oleh pemerintah. Tarif parkirnya pun termasuk salah satu pendapat pemerintah daerah. Mereka adalah para tukang parkir negara.



Berbeda halnya jika kita masuk ke suatu rumah sakit atau mall. Sering kali retribusi parkir tersebut dikelola sendiri oleh pihak rumah sakit atau mall tersebut. Inilah parkir swasta.



Namun sayangnya, saat ini banyak sekali bertebaran tukang parkir-tukang parkir gadungan, begitu saya menyebutnya. Tukang parkir yang biasanya beroperasi di warung-warung makan kecil pinggir jalan. Boro-boro menggunakan pakaian tukang parkir resmi, bahkan diantara mereka berdandan seperti layaknya seorang preman



Para preman-preman tersebut memanfaatkan kegarangan mereka untuk mengais rezeki dengan menjadi tukang parkir. Saya pikir tidak ada salahnya jika mereka menjadi tukang parkir, tetapi yang salah adalah ketika ketentuan-ketentuan perparkiran tidak mereka terapkan. Mulai dari penjagaan kendaraan bermotor secara maksimal, pelayanan yang memuaskan.



Ketika kita akan memarkir kendaraan, tukang parkir sama sekali tidak terlihat apalagi membantu memberikan aba-aba. Namun giliran kendaraan kita akan meninggalkan tempat parkir, muncullah seorang oknum dengan peluit di mulut dan memberi aba-aba (yang seringkali dilakukan serampangan, tanpa melihat situasi lalu lintas di belakang). Baginya, yang penting pengguna kendaraan segera membayar retribusi parkir dan meninggalkan tempat parkir agar bisa dipakai kendaraan lain.



Saat terjadi sesuatu dengan kendaraan kita (entah terbentur, penyok, tergores, ataupun yang simple: helm hilang), tukang parkir dengan santai mengutarakan itu semua bukan tanggungjawabnya dan mengeloyor pergi. Selain itu juga banyak tukang parkir tidak memberikan karcis tanda parkir saat kita membayar.



Kalau kita pernah berkunjung ke mall, disana terdapat ketentuan biaya parkir perjam. Bahkan sering kali melebihi dari tarif parkir yang ditentukan pemerintah. Tetapi saya kira ini ndak salah juga. Saya menganggap mereka adalah pihak swasta yang membuka usaha parkir. Jika kita melakukan komplain terhadap si pengelola parkir di mall masih dimungkinkan. Namun berbedaa halnya jika kita akan mengcomplain tukang parkir preman di pinggir-pinggir jalan? Boro-boro complain melalui jalur hukum, compalin secara personal aja sering kali kita ndak berani. Bukankah mereka itu preman setempat?


---


Pernahkah Anda, ketika sedang berada di tempat parkir, menjumpai tulisan "KEHILANGAN ATAU KERUSAKAN DI AREAL INI BUKAN TANGGUNG JAWAB KAMI"? Aku yakin Anda juga kesel dengan sebaris kalimat itu. Kalimat yang begitu menjengkelkan itu sengaja dipajang oleh pengelola tempat parkir. Hal ini menunjukkan betapa tidak bertanggung jawabnya mereka atas usaha yang sedang mereka jalankan.


Anda tidak perlu khawatir, karena menurut Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen:


1. Pelaku usaha (perusahaan tempat parkir) dalam menawarkan barang/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian (dalam hal ini karcis tanda bukti parkir) apabila:


a) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Penggunaaan tempat parkir termasuk dalam perjanjian penitipan barang, sehingga menurut Pasal 1706 KUHPerdata, perusahaan pengelola tempat parkir harus menjaga barang yang dititipkan pada areal miliknya dengan baik, sebaik barang miliknya sendiri.


Jika Anda menjumpai pelangaraan hukum seperti diatas, menurut Pasal 45 Undang-Undang No. 8 Tahun 199, upaya hukum yang dapat ditempat:




  • Menggugat pelaku usaha secara perdata melalui badan peradilan umum.

  • Melaporkan secara pidana pelaku usaha atas dugaan melanggar Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak... Rp 500.000.000,-


Jadi, sebenarnya hak-hak kita ini telah dilindungi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ketika kita memarkir kendaraan kita di suatu tempat parkir, maka kita ini konsumen dan mereka yang mengelola tempat parkir itu adalah pelaku usaha. Sudah saatnya kita memperhatikan hak-hak kita sebagai konsumen. Sehingga ketika ada pelaku usaha “nakal”, maka kita bisa melakukan pembelaan diri.


5 Kommentarer:

adil

truz solusinya apa?
atau cuma sekedar memberikan wacana?
contohnya, perlu adanya tindakan tegas atau upaya penertiban oleh pemerintah kota atau pemerintah daerah.
tapi tulisan tersebut cukup membantu bagi kita yang masih agak kebingungan.

ressay

ya mungkin bisa dikatakan begitu. sekedar melemparkan sebuah wacana untuk disikapi bersama-sama disini.

solusi yang baru aku berikan hanya sebatas info tentang perlindungan hak-hak konsumen.

fadli

ASS soal pelaku usaha(juru parkir jalanan) apakah kita dapat mengugat mereka yang jelas- jelas mereka itu unformal atau tdk secara resmi malakukan usaha (juru parkir jalan) bgmn tanggapannya sodara apakah masih bisa digugat terima kasih sebelumnya

ressay

kalau pun bisa, atas dasar apa kita menggugat mereka?

nenek nenek

Nenek nenek juga tahu bang

Post a Comment