Beberapa hari lagi Pilpres bakal dilangsungkan. Dari tiga pasang capres-cawapres yang bersaing, pasangan manakah yang bakal beroleh dukungan paling bagus? Mereka sudah berkampanye dalam pelbagai forum dan lewat beragam medium. Tapi sudahkah rakyat sebagai pemilih sudah mendapatkan gambaran memadai mengenai mereka? Untuk melihat hal tersebut, berikut perbincangan dengan Yulianto SH, pengamat politik yang juga Ketua Divisi Politik Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).
Pilpres segera diselenggarakan. Menurut Anda, sudah cukupkah masyarakat mendapatkan gambaran memadai tentang para calon itu berikut program mereka selama masa kampanye tempo hari?
Menurut saya, meskipun proses kampanye telah dilakukan dengan gencar selama tiga minggu, bahkan sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum tahapan kampanye dimulai, tetapi sejauh ini masyarakat masih belum mendapatkan gambaran utuh tentang sosok kandidat capres dan cawapres.
Saat ini, yang kita lihat bersama, sebagian besar masyarakat pemilih baru mengenal nama dan slogan para kandidat. Kita lihat di mana-mana orang bahkan anak-anak akrab dengan slogan ”Lebih Cepat Lebih Baik”, ”Lanjutkan”, dan ”Mega-Pro Pro Rakyat”. Adapun pemahaman masyarakat terhadap program para kandidat, rasanya masih jauh dari yang kita harapkan bersama, jauh panggang dari api.
Tentunya ini karena ada kesalahan. Di mana letak kesalahan itu?
Adanya kondisi yang ”jauh panggang dari api” tersebut dikarenakan para kandidat terlalu asyik dengan dirinya. Mereka jauh dari persoalan yang secara nyata dihadapi masyarakat kita. Kampanye kandidat dan tim suksesnya selama ini juga masih berkisar pada hal-hal yang sifatnya sangat umum dan normatif, serta menonjolkan hal-hal yang mengusik dan menggelitik, sehingga itu yang dikenang. Itu tidak salah. Kalau rakyat mengingat slogan-slogan, itu berarti memang menarik sehingga mudah diingat. Hanya saja kita tidak ingin kalau hanya itu saja yang didapat masyarakat.
Selain itu, saya lihat juga banyaknya penonjolan yang hiperbolik, janji-janji muluk, juga klaim-klaim keberhasilan.
Menurut saya, hal yang seperti itu hanya mendapatkan hasil yang maksimal saat masyarakat kita masih bodoh, masih banyak yang acuh. Pada masyarakat yang berpikir kritis, tentunya klaim, janji-janji muluk dan hiperbolik tidak akan ditelan mereka. Bisa jadi itu malah dianggap kebohongan publik yang bisa menurunkan simpati.
Jalur paling afdol mana agar masyarakat mendapatkan gambaran sosok dan program mereka yang mendekati 'objektif' alias tak terselimuti janji hiperbolik dan serta klaim keberhasilan?
Sebenarnya di sinilah peran media massa dan kalangan akademik. Media dan kalangan akademik dapat memberikan perimbangan informasi bagi masyarakat untuk mendapatkan gambaran yang lebih objektif tentang rekam jejak para kandidat. Khususnya selama para kandidat itu menduduki jabatan tertentu atau sejak mereka berkarier dalam lembaga pemerintahan atau lembaga negara maupun organisasi asalnya.
Namun itu harus juga bersyarat. Syaratnya, harus ada profesionalitas media dan netralitas akademisi. Masalahnya sekarang ini kan segalanya makin canggih. Memihak pun ada yang kentara tapi juga ada yang sedikit kentara bahkan tidak kentara.
Tapi dari omong-omong saya dengan orang-orang biasa di warung kopi, angkot, lapak koran, banyak kok yang tahu mana yang bombastis, dan mana yang objektif. Jadi, jangan lagi kita anggap mudah ”bermain” dalam soal keberpihakan. Rakyat itu makin pintar, sudah tahu mana media dan pakar yang memihak.
Menurut saya, media dan akademisi seharusnya berpikir panjang bila ingin tetap bernilai di mata masyarakat. Mereka seharusnya tidak mudah terperosok dan memihak karena ini kan ada kaitannya menang atau kalah dan idealisme. Yang repot kan kalau idealisme sudah luntur, kalah pula dalam pertarungan. Selain televisi, para kandidat memokuskan kampanye di ”wilayah” masing-masing.
Apakah langkah itu masih efektif untuk mempertahankan suara?
Mungkin pola kampanye dengan menjaga 'kandang' masing-masing itu ada untungnya sehingga terus saja dilakukan. Itu terutama bertujuan untuk pamer kekuatan yang diharapkan dapat menimbulkan efek domino bagi daerah lainnya, daerah di dekatnya. Sebab, biasanya bila ada kampanye capres-cawapres di suatu daerah, maka akan ada pergerakan massa pendukungnya dari daerah-daerah di sekitarnya. Dengan adanya atribut yang berseliweran, juga sound system dan konvoi pendukung, ini kan juga menunjukkan kalau mereka eksis. Tetapi cara ini belum tentu efektif untuk mempertahankan dukungan pemilih.
Mengapa demikian?
Dalam pemilu legislatif lalu terdapat pergeseran dukungan dari basis partai tertentu kepada partai lain. Ini terjadi karena sekarang masyarakat sudah lebih pintar 'menjual' suaranya meskipun masih belum dapat dikatakan mereka melakukan hal itu secara rasional.
Dalam menjatuhkan pilihannya, sebagian besar masyarakat Indonesia masih lebih dipengaruhi oleh pandangan tokoh-tokoh di lingkungannya masing-masing, ikatan primordial dengan para kandidat, dan keuntungan-keuntungan jangka pendek yang dapat diperoleh dari para kandidat atau tim suksesnya.
Jadi, masyarakat Indonesia lebih banyak yang masih emosional atau sudah (mulai) banyak yang
rasional dalam menentukan pilihan?
Untuk menjawab hal itu, saya akan mengawalinya dari pra- dan pasca-pilkada. Pada saat Pilkada, masyarakat kita banyak belajar bahwa yang namanya janji-janji dan keramahan para kandidat hanya saat menjelang pemungutan suara. Setelah terpilih tidak banyak kandidat yang bekerja sesuai dengan janji sebelumnya.
Memang sih, ada bupati atau gubernur terpilih yang membuat langkah-langkah semakin memajukan daerah dan menyejahterakan rakyatnya. Tapi itu jauh lebih sedikit ketimbang yang sebaliknya. Karena itu masyarakat akhirnya lebih memilih melakukan aksi 'ambil untung' sesaat dalam memilih pasangan capres-cawapres tertentu. Dan itu biasanya dalam bentuk pemberian materi seperti uang yang langsung diterima oleh pemilih maupun berupa janji kepada sekelompok masyarakat untuk dibuatkan pembangunan jembatan, jalan, atau sarana tertentu setelah memilih pasangan tertentu.
Hal-hal yang pragmatis semacam itulah yang mendorong praktik politik uang selalu muncul dalam setiap pemilu. Padahal beberapa putaran pemilu atau pilkada mestinya membuat pemilih menjadi pemilih yang lebih cerdas. Tapi seringkali mereka jadi keenakan berprinsip pragmatis. Maka perlu upaya untuk mengubah kondisi yang buruk tersebut. Kondisi yang seperti itu kan hanya menguntungkan praktek politik uang.
Untuk kesehatan demokrasi kita, bagaimana cara mendorong masyarakat menjadi pemilih yang cerdas, rasional, alias bukan pemilih yang pakai ilmu 'asal bukan dia' dan 'harus dia'?
Salah satu cara untuk mendorong masyarakat menjadi pemilih yang lebih cerdas dan rasional adalah melalui pendidikan politik yang dilakukan secara berkelanjutan, terus menerus, dan tidak hanya pada musim pemilu saja. Pendidikan politik ini semestinya menjadi tanggung jawab partai politik, minimal bagi anggota dan simpatisan masing-masing.
Sayangnya, selama ini hampir semua partai politik lebih senang memobilisasi masyarakat dan mendekati masyarakat hanya sekitar musim pemilu. Sementara pendidikan politik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga masyarakat cenderung terikat oleh ketentuan administrasi dan jangka waktu yang sangat terbatas karena merupakan program yang bersifat proyek.
Siapa yang mesti mendorong? Capres-cawapres juga?
Para kandidat presiden dan pasangannya juga memiliki tanggung jawab dalam proses pendewasaan demokrasi masyarakat melalui kampanye yang sehat. Dalam arti tidak saling menyerang kepribadian masing-masing dan berbobot. Kandidat dan tim suksesnya lebih mengedepankan kualitas kepemimpinan dan kapasitas manajerial. Menurut saya, saat ini yang terjadi masih saling serang baik antara kandidat maupun antar-tim sukses mereka. Makin kasar, pasti makin tidak elegan di mata rakyat.
DI sisi lain, masyarakat sendiri harus lebih jeli terhadap janji-janji yang disampaikan para kandidat. Apakah yang dijanjikan itu cukup realistis untuk dilakukan atau tidak? Harus diwaspadai janji-janji surgawi yang memabukkan karena itu bisa jadi merupakan candu yang menjauhkan masyarakat dari kenyataan permasalahan yang sebenarnya. Karena setiap pilihan akan membawa konsekuensi, maka kita perlu lebih hati-hati dalam memilih.
Memberikan suara kepada kandidat yang salah akan membawa akibat yang cukup besar bagi masa depan diri, keluarga dan masyarakat. Jadi, jangan terkecoh oleh janji-janji, itu kunci awalnya, lalu mulailah mencari informasi dari banyak sumber. Bila ada kontradiksi antara sumber satu dengan lainnya, maka masyarakat bisa menimbang mana yang kiranya paling tepat.(73)
Biodata
Nama: Yulianto SH
Jabatan: Kepala Divisi Politik pada Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)
Tempat, tanggal Lahir: Solo, 26 Juli 1974
PENDIDIKAN
- S1 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Jawa Tengah (2000)
- Madrasah Aliyah Ponpes Walisongo Ngabar Ponorogo Jawa Timur (1994)
- SMPN I Depok, Jawa Barat (1990)
- SDN II Depok, Jawa Barat (1987)
PENGALAMAN ORGANISASI
- Ketua Umum HMI Komisariat FH UNS
- Ketua HMI Cabang Solo
- Wasekum HMI Badko Jawa Tengah
PENGALAMAN DI LSM
- Ketua Divisi Politik Konsorsium reformasi Hukum Nasional (KRHN) 2009
- Koordinator Koalisi Masyarakat Peduli Pemilu (KMPP) 2008
- Divisi Jaringan dan Penguatan Masyarakat KRHN 2005
- Koordinator Kelompok Kajian Kebijakan Publik LAMPU 2000
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/layar/2009/07/05/422/Mereka.Asyik.dengan.Diri.Sendiri
0 Kommentarer:
Post a Comment