Diskusi HMI: Ahmadiyah di Tengah Kerukunan Umat Beragama

mylensa_5261


Bulan Ramadhan telah datang. Dalam menyambut kedatangan dan mewarnai bulan Ramadhan ini, HMI Cabang Surakarta membuat serangkaian kegiatan yang bermanfaat.


Setelah melakukan pawai Becak dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan slogan “Shaum Terus Maksiat Jangan”, hari ini Minggu 30 Agustus 2009 HMI Cabang Surakarta mengadakan diskusi yang dinamakan SERABI “Semarak Ramadhan Bersinar ala HMI”.


Bertempat di Gedung Insan Cita HMI, diskusi tersebut mengangkat tema “Ahmadiyah di Tengah Kerukunan Umat Beragama”.


Beberapa tahun kemarin MUI mengeluarkan fatwa sesat atas Ahmadiyah. Pemerintah pun menyusulnya dengan mengeluarkan SKB 3 menteri. Berdasarkan hal tersebut, HMI berusaha membuka ruang bagi Ahmadiyah untuk berdialog bersama menyampaikan keyakinannya dihadapan para kader-kader HMI.


Sebagai pembicara dalam acara tersebut Ustadz Mustaqim, Ketua Ahmadiyah Qadiyan Solo, dan Yasser Arafat, Ketua Bidang Pembinaan Anggota HMI Cabang Surakarta.


Ustadz Mustaqim menjelaskan bahwa Ahmadiyah tidak memiliki Nabi pembawa syariat setelah Nabi Muhammad. Mereka hanya meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi yang tidak membawa syariat. Artinya Nabi yang masih berpegang pada syariat Nabi Muhammad. Pengertian kenabian menurut Ahmadiyah dan mayoritas umat Islam pun berbeda. Beliau pun mengutip beberapa ayat Al-Qur’an untuk mendukung keyakinannya diantaranya ayat yang menyebut bahwa Nabi Muhammad adalah Khataman Nabiyyin (QS. 33:40). Beliau menafsirkan itu khataman Nabiyyin sebagai Nabi yang istimewa, luar biasa, paling bagus, yang terakhir membawa syariat. Khataman Nabiyyin bukanlah penutup para Nabi karena masih dimungkinkan ada Nabi-Nabi lain sepeninggal Nabi Muhammad.


Yasser Arafat sebagai pembicara kedua berusaha menyanggahnya. Setelah menjelaskan bahwa Ahmadiyah itu ada dua macam dan keduanya saling menganggap sesat satu sama lainnya, Yasser menyanggah bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para Nabi. Tidak ada lagi Nabi sepeninggal beliau.


Dia menuturkan bahwa ada banyak metode dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an. Apa yang dilakukan oleh Ustadz Mustaqim adalah penafsiran Al-Qur’an dengan ra’yunya sendiri. Masih ada lagi cara penafsiran lain, yaitu menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, menafsirkan ayat dengan hadits, dll.


”Saya lebih memilih untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an tersebut dengan hadits Nabi,” begitu kata Yasser. Di dalam hadits, Rasulullah pernah berkata, ”Tidakkah engkau ridha wahai Ali, kedudukanmu disisiku sama seperti kedudukan Harun disisi Musa namun tidak ada lagi Nabi setelah.” Jadi dari hadits tersebut bahwa tidak ada lagi Nabi sepeninggal beliau.


Yasser juga menekankan bahwa jangan sampai kita terjebak pada sikap merasa diri paling benar sendiri dan menganggap orang lain sebagai orang sesat. ”Tidak boleh kita mengatakan orang lain sesat menurut Islam. Tetapi jika kita mengatakan orang lain sesat menurut Islam yang kita pahami, bolehlah. Karena ketika kita membaca ayat Al-Qur’an, pasti ada unsur subyektifitas kita dalam menafsirkan ayat tersebut. Masing-masing diantara kita memiliki penafsiran yang berbeda-beda.”


Diskusi pun diakhiri dengan buka puasa bersama. Para peserta diskusi dan pembicara duduk bersama menyantap hidangan buka puasa.


Sumber: HMI Cabang Surakarta

0 Kommentarer:

Post a Comment