Dua Prinsip Umum dalam Menganalisa Konflik HMI dan Polisi

oleh: Kanda Yasser Arafat

Tidak ada asap jika tidak ada api. Begitulah pepatah yang pas untuk menggambarkan konflik yang terjadi antara mahasiswa dan oknum polisi di Makassar sana. Selama 1 minggu ini, hampir seluruh televisi dan surat kabar memberitakan konflik yang terjadi disana.

Gaya pemberitaan masing-masing media itu pun berbeda-beda. Ada yang cenderung mendiskreditkan salah satu pihak, ada yang cenderung netral. Semua itu tentu berangkat dari kepentingan apa yang mereka bawa.

Tulisan ini bukan hendak menghakimi salah satu pihak sebagai pihak yang paling benar, melainkan hanya sekedar mengungkapkan keluh kesah yang selama ini ada.

Baru-baru ini di jejaring sosial facebook, ramai orang memperbincangkan konflik HMI dan Polisi. Dengan gaya komentarnya masing-masing, mereka mengungkapkan kekesalan kepada salah satu pihak.

Bagiku, komentar-komentar seperti itu bukanlah komentar yang konstruktif. Mengapa begitu banyak orang yang termakan provokasi semacam ini?



Di Facebook, terdapat group yang menyatakan dukungan terhadap pembubaran HMI. Iseng aku ikut menjadi anggota dari group tersebut. Kecewa betul saat aku harus melihat kenyataan bahwa banyak diantara orang yang berkomentar, melontarkan komentar-komentar kasar, jorok, menghina, mencaci.

Sungguh sikap standar ganda. Disatu sisi mereka menyuarakan pembubaran HMI karena telah melakukan perusakan, tetapi disisi lain, komentar mereka pun sebetulnya komentar yang mengarah pada hal-hal yang tidak konstruktif. Dari sini saja sudah bisa kita lihat kapasitas intelektual dari anggota-anggota group yang berkomentar disana.

Iseng-iseng aku mengajak pembuat group tersebut untuk dialog berdua. Tetapi pembuat group malah mengatakan bahwa diskusi denganku merupakan perbuatan yang membuang-buang waktu, tak ada gunanya.

Tiba-tiba ada seorang blogger dari malang yang mengajak dialog. Beliau mempertanyakan mengapa HMI berdemo sambil memblokir jalan dan merusak fasilitas umum. Katanya HMI membela rakyat kecil, tetapi kok malah membuat susah rakyat kecil?

Sebisa mungkin aku menjawab pertanyaan kawanku tadi dengan jawaban yang santun dan ilmiah. Karena itulah harapanku saat ikut gabung dengan group tersebut. Aku ingin mengajak semua anggota group berkomentar dengan santun dan ilmiah.

Menurutku, harus ada argumen ilmiah yang ditampilkan, sehingga diskusi yang berjalan tidak terkesan debat kusir yang ndak ada juntrungannya. Kebanyakan argumen yang diajukan oleh para penghujat HMI hanya sebatas argumen-argumen yang sentimentil.

Soal pemblokiran jalan dan perusakan fasilitas umum yang baru-baru ini terjadi, setidaknya aku menggunakan dua prinsip umum, yaitu prinsip kausalitas dan prinsip kepentingan umum dapat dikorbankan sementara waktu.

Prinsip kausalitas, berbicara bahwa setiap perbuatan pasti memiliki sebab musababnya. Kalau dalam bahasa arab, prinsip kausalitas ini sering disebut Tasalsul.

Heran aku melihat masyarakat saat ini yang melakukan penilaian terhadap konflik yang terjadi di Makassar. Mereka hanya melihat dan melakukan penilaian terhadap perbuatan yang sebetulnya itu akibat. Mereka lupa akan sebabnya. Mereka seolah-olah enggan menganalisa mengapa suatu perbuatan itu terjadi?

Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mengetahui sebab mengapa perusakan fasilitas umum itu terjadi.

Prinsip yang kedua yaitu soal kepentingan umum yang dikorbankan sementara waktu. Menurut prinsip ini, kepentingan umum dapat dikorbankan sementara waktu untuk kepentingan pribadi yang mendesak dan penting.

Banyak contoh untuk soal ini. Ambillah contoh saat presiden atan pejabat hendak melewati suatu jalan, maka polisi biasa memblokir jalan untuk sementara waktu. Memberikan kesempatan bagi presiden atau pejabat melalui jalan tersebut dengan lancar.

Sama dengan aksi mahasiswa. Kepentingan umum dapat dikorbankan sementara waktu untuk mendahulukan kepentingan mahasiswa yang sedang aksi.

Pemblokiran jalan, bukanlah suatu ritual wajib dalam setiap aksi yang dilakukan. Pemblokiran jalan hanyalah salah satu sarana bagi peserta aksi untuk melakukan tekanan yang lebih besar kepada sasaran aksi.

Jadi, marilah kita lebih arif dan bijak dala memandang persoalan. Jangan melulu kita melihat akibatnya, tetapi carilah apa yang menyebabkan perbuatan itu dilakukan.

7 Kommentarer:

Didi Djunaedi

anarki tetap harus ditangkap bos...tak ada kata lain tanggkap adili sesuai tindak pidana..demokrasi bukan ciptakan kerusuhan..ganggu kamtibmas..mahasiswa kaya preman terminal yang suka kelahi, bikin onar...Titik

Didi Djunaedi

supir angkot aja mau dipukuli Mahasiswa HMI..demo ko gitu..santun..dialog..bukan teriak di tengah jalan..

Didi Djunaedi

islam tidak ajarkan kekerasan dalam situasi damai gini

raza23

mnta ijin buat nanggepi mas didi djunaedi
terima kasih mas buat sarannya,, yaa mahasiswa terkadang terlalu mengebu gebu dalam mengungkapkan isi pikirannya.. tp terkadang kita jg harus melihat secara keseluruhan dalam sebuah masalah..
dan damai menurut mas itu seperti apa?? karena kita tau angka kemiskinan Indonesia sebesar 33,7 juta dari 231 juta jiwa, orang tidur di pinggir jmbatan masih banyak, biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal, subsidi semakan lama berkurang,, angka korupsi masih besar, tindakan semena2 aparat..apakah itu yg disebut damai??
coba kita renungkan kembali...

ressay

@Didi
1. apa yang dimaksud anarkis.
2. mahasiswa suka kelahi? tak ada salahnya jika keadaan memaksa untuk memukul orang. kan ada alasan pembenar dan pemaaf.
3. teriak di jalan pun ndak ada salahnya. dialog? ok juga...

qwerty

bakar ban ? polusi .. katanya go green ..

peengaturan aksinya kurang kali yak,, jadi gampang diobok-obok intel yang nyelundup .. zzzzz

sochehsatriabangsa

yakusa.....!!!!!!!!!!!!!!!!!! ini adalah langkah mahasiswa bila tidak ada mediasi

Post a Comment