Dewasa ini, masyarakat tampak gelisah dengan pencarian jati diri kota. Ada sesuatu yang telah lama hilang dan tidak bisa dirasakan lagi oleh warga. Yaitu, kerinduan akan kenyamanan ruang publik.
Dengan semangat Solo’s past is Solo’s future, tampaknya Walikota Jokowi beserta jajarannya tanggap keinginan rakyat. Sejurus kemudian, upaya revitalisasi public space (ruang publik) pun segera dilakukan. Villapark Banjarsari yang merupakan kawasan kebun kota (garden city) di Solo bagian utara, disalahgunakan untuk area niaga. Oleh Jokowi kemudian dikembalikan fungsinya dan eloknya, proses relokasi para PKL berjalan damai nan tertib.
Kemudian, Partini Tuin (Balekambang), lingkungannya kini bersih dan asri, setelah sekian lama kumuh tidak terurus. Padahal, tempat ini tempo dulu dimanfaatkan publik untuk rekreasi. Selain terdapat pertunjukan ketoprak dan dilengkapi kolam renang, suasana pun idum berkat rindangnya pepohonan. Tak ayal, warga betah berlama-lama bercengkerama di situ untuk sekadar menikmati angin segar dan suara cicitan burung.
Kawasan olahraga di Manahan dibenahi dan ditata rapi. Tempat yang zaman Mangkunagoro VII digunakan untuk pacuan kuda ini, disentuh dengan menata kesemrawutan PKL.
Tiga karakter
Memperhatikan keberadaan semua public space di Kota Bengawan, bagaimanapun hati rakyat telah menyatu dan melekat dengan Taman Sriwedari. Hal itu bisa dibuktikan ketika kepemilikan tanah Sriwedari dipersoalkan beberapa waktu lalu. Ratusan warga yang terdiri atas seniman, akademisi, siswa hingga sopir becak turun ke jalan dan membubuhkan tanda tangan pada kain panjang guna menolak penguasaan tanah atas nama pribadi atau swasta.
Dalam proses perjalanannya sebagai fasilitas publik, Taman Sriwedari yang dulu dikenal sebagai Kebon Raja telah membentuk tiga karakter. Bila diterangkan satu persatu, sangat jelas betapa bernilainya Sriwedari untuk Kota Solo dan masyarakat. Sebagai artifak, ia adalah sosok bangunan bersejarah yang tidak mengganggu wilayah civic center Kota Solo. Posisinya strategis, di tengah kota, mudah dijangkau. Lalu, mantifak atau fakta mentalitas. Taman Sriwedari sebagai penghibur diri pada siklus tahunan dengan digelar acara malam Selikuran, peringatan turunnya Lailatul Qadar.
Dalam wacana kerakyatan, mantifak bukan hanya bermakna sebagai Kebon Raja yang berdimensi hiburan, melainkan juga menjadi dimensi ujar (nazar). Contoh, bilamana salah satu dari keluarga ada yang sakit, maka keluarga bernazar. Bila yang sakit itu sembuh, nanti ditontonkan gajah dan wayang orang di Kebon Raja.
Yang terakhir, karakter sositek, di mana masyarakat diajak merayakan maleman Sriwedari sekitar dua pekan sekali. Berbagai hiburan disuguhkan, tidak hanya wayang orang dan kebun binatang, tapi keberadaan Radya Pustaka di kompleks Sriwedari menambah menu wisata yang bisa ditawarkan, rekreasi pustaka dan benda purbakala.
Semua itu tidak lepas dari peran Paku Buwono X (1898-1939). Ribuan gulden dikeluarkan demi membangun taman rakyat yang cukup mewah. Diisi dengan kebun binatang, lapangan sepak bola, gedung wayang orang, gedung bioskop, rumah makan, dan taman air kapujanggan. Orientasi PB X, agar dia memperoleh legitimasi kekuasaan di hati rakyat. Hal ini untuk menyikapi tekanan pemerintah kolonial Belanda yang menciutkan kekuasaan keraton secara administratif dan gerak penguasa tradisional yang dibatasi, termasuk di bidang peraturan. Maka, PB X bermain pada politik simbol (Kuntowijoyo, 2004). Kedekatan antara kawula dan gusti dilampiaskan di Sriwedari. Pancaran lampu sokle pada malam Selikuran sebagai pertanda, kawulanya yang berada di Soloraya dipanggil untuk menyaksikan upacara dan pesta kembang api.
Ruang interaksi
Desain ruang publik yang baik dan terintegrasi memang menjadi syarat utama. Taman Sriwedari sudah terdesain dan terkarakter. Selanjutnya, revitalisasi bertujuan menjadikan kembali Sriwedari sebagai sebuah buku yang bercerita tentang tiga karakter.
Ingat, eksistensi Sriwedari menyangkut aspek demokrasi (kerakyatan) dan value (nilai). Demokrasi artinya Sriwedari seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Value artinya Sriwedari harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial. Jadi, Sriwedari selain sebagai tempat pariwisata namun juga digunakan interaksi sosial warga. Dengan begitu, kapital sosial dapat terpelihara dengan baik. Harapan lainnya, masyarakat yang memanfaatkan Sriwedari bisa juga mendapatkan edukasi. Public education ini kemudian diprogram sebagai upaya untuk membentuk kepedulian terhadap kelestarian pusaka demi terbentuknya cultural identity (identitas budaya) dalam masyarakat.
Usaha untuk melestarikan nilai kesejarahan di Sriwedari secara sepihak oleh kalangan yang merasa memiliki otoritas menjadi tidak relevan lagi, sebaliknya muncul demokratisasi dalam pengelolaan pusaka budaya. Peran serta masyarakat perlu dipertimbangkan. Pasalnya, revitalisasi ini sebagai jalan menuju penguatan kapital sosial dan itu harus disadari benar oleh Pemkot. Bagaimanapun, revitalisasi adalah sebuah kerja budaya, bukan proyek fisik semata. Atau, bukan sekadar persoalan penciptaan beautiful place tetapi lebih kepada interesting place. - Heri Priyatmoko, Mahasiswa Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS
Sumber: SOLOPOS Net
1 Comment:
ikut seneng tulisan saya dipampang di blog ini.
Post a Comment