Dualisme HMI; Antara Yasir, Sumayyah, dan Ammar bin Yasir

2943111888265l


Salah satu diantara banyak pertanyaan yang pasti saya dengar saat berdiskusi tentang HMI dengan mahasiswa baru ialah pertanyaan soal perpecahan HMI menjadi HMI (DIPO) dan HMI (MPO). Selalu saja pertanyaan ini mengisi ruang-ruang dialog antara mahasiswa baru dengan pengurus HMI. Dan biasanya pertanyaan tersebut disusul dengan pertanyaan lanjutan seputar siapa yang benar dan siapa yang salah (tersesat).



Saya tertarik untuk sedikit memberikan pendapat terkait persoalan dualisme HMI ini. Ketertarikan sayani muncul ketika membaca artikel adu pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang sesat di beberapa website.



Jika kita berbicara tentang sejarah HMI, maka fase-fase sejarah HMI sudah dimulai sejak awal berdirinya pada tahun 1947. Fase tersebut merupakan fase perjuangan pasca kemerdekaan RI. HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa Islam saat itu turut berkontribusi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.



Tahun 60-an merupakan tahun perjuangan HMI melawan ideologi komunisme dan Fase penting lain adalah pada tahun 1985 dimana saat itu di Indonesia diberlakukan Undang-Undang No. 8 Tahun 1985, tentang organisasi kemasyarakatan. Aturan tersebut memuat kebijakan soal azas tunggal yaitu Pancasila. Semua ormas dan orpol diharuskan merubah azas organisasi mereka menjadi Pancasila.



Pada HMI kebijakan ini sampai membuat perpecahan di tubuh organisasi dan mencapai puncaknya pada kongres HMI XVI yang diselenggarakan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 24-31 Maret 1986, dimana ada beberapa kader HMI menyatakan dirinya sebagai HMI-MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang tetap menjaga Islam sebagai azas organisasi. Sedangkan HMI yang memilih strategi menuruti perintah penguasa saat itu untuk merubah azas organisasi menjadi Pancasila, sering disebut sebagai HMI (DIPO). DIPO sendiri merujuk pada nama jalan sekretariat PBHMI yaitu jalan Diponegoro.



Dalam perjalanan sejarah organisasi ini, ada beberapa oknum kader HMI (DIPO) maupun HMI (MPO) yang sering kali mengklaim bahwa dirinyalah yang betul-betul HMI. Oknum kader HMI (DIPO) menganggap bahwa HMI (MPO) merupakan organisasi ekstrem dan kaku. Begitu juga sebaliknya, oknum kader HMI (MPO) menganggap HMI (DIPO) sudah tersesat dengan mengganti azas organisasi mereka dari Islam menjadi Pancasila.



Sampai hari ini, persoalan ini masih saja menimbulkan polemik di beberapa cabang. Bahkan terakhir saya membaca tulisan mengenai polemik antara HMI (DIPO) dan HMI (MPO) Cabang Semarang. Seperti biasanya, masing-masing diantara mereka mengklaim dirinya merupakan pewaris sah dari organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane ini.



Kalau boleh saya berpendapat dan sekaligus menjawab pertanyaan mahasiswa baru soal pihak mana yang berada pada kebenaran, maka saya dengan tegas mengatakan bahwa keduanya benar. Mungkin Anda akan memprotes saya dengan mengatakan bahwa mustahil kebenaran ada dua.



Menurut saya, kebenaran itu memang harus satu. Mustahil kebenaran itu ada dua. Tetapi, itu kebenaran yang bersifat mutlak. Sedangkan kebenaran yang saya maksud disini ialah kebenaran subyektif. Kebenaran yang diklaim oleh masing-masing pihak atas dasar sudut pandang masing-masing.



Jika saya memandang persoalan dualisme HMI ini, saya jadi teringat dengan sejarah mengenai keluarga salah seorang sahabat Nabi, Ammar bin Yasir. Dialah yang pernah disebut dalam sebuah hadits Nabi, ”Siapa yang memaki-maki Ammar Bin Yasir, Allah akan memaki-maki dia. Barang siapa yang memusuhinya, Allah akan menjadi musuh dia. Barangsiapa yang merendahkan Ammar, Allah pun akan merendahkan dia.”



Kisah keluarga Ammar bin Yasir ini kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an, tepatnya surat An-Nahl ayat 106.



Ammar bersama orangtuanya, Sumayyah Binti Kahiyyat dan Yasir pernah disiksa oleh Abu Jahal Bin Hisyam ditengah-tengah padang pasir, ramdha. Saat tahu tentang itu, Rasulullah datang dan berkata, “Hai keluarga Yasir, sabarlah! Kalian dijanjikan pahala surga.”



Bahkan mereka diancam akan dibunuh jika tidak meninggalkan agama Islam. Kedua orangtua Ammar, Yasir dan Sumayah, tetap berpegang teguh memegang Islam dengan berani berujar di hadapan para musyrikin, “Kami yang sudah suci dengan Islam tidak mau mengotorinya lagi.” Mendengar itu para musyrikin marah dan akhirnya membunuh keduanya dengan tombak. Atas tindakan itu, akhirnya Ammar tidak bisa apa-apa selain menuruti kaum musyrikin. Ia dihadapan para pemuka musyrikin melontarkan cacian dan makiannya kepada Rasulullah dan langsung menyatakan keluar dari agama Islam. Kejadian itu pun diketahui Nabi. Selang beberapa hari setelah kejadian itu turunlah ayat kepada Nabi, “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap beriman (Dia tidak berdosa)” (QS An-nahl:106).



Berdasarkan ayat ini umat Islam pada waktu itu diizinkan untuk melakukan taqiyyah dalam rangka menjaga keselamatan. Taqiyyah ialah sikap untuk menampakkan kekafiran dan menyembunyikan kebenaran. Inilah yang dilakukan Ammar yang terpaksa mencaci maki Nabi dan menyatakan keluar dari Islam untuk penyelamatan jiwanya. Dan tindakan taqiyyah yang dilakukan Ammar tadi dibenarkan oleh Nabi, “Kalau mereka kembali menyiksamu lagi, ucapkan cacianmu padaku; Allah akan mengampunimu dikarenakan kamu terpaksa melakukannya.”



Jika diibaratkan, HMI (MPO) adalah Sumayyah dan Yasir. Mereka berteriak lantang ketika penguasa dzalim saat itu memaksa untuk menggadaikan keimanan mereka. Mereka menantang penguasa dzalim saat itu dengan teriakan, ”Kami yang sudah suci dengan Islam tidak mau mengotorinya lagi.” Tentu sikap mereka ini mendapatkan tekanan dari penguasa yang berkuasa. Dan hal ini yang memaksa mereka untuk bergerak secara bawah tanah.



HMI (DIPO) merupakan Ammar bin Yasir di bangsa ini yang bertaqiyyah. Mereka menuruti kemauan penguasa untuk melepaskan keislaman dari azas organisasi yang mereka kendarai. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan eksistensi organisasi ini. Secara lisan dan sikap mereka merubah azas mereka dari Islam menjadi Pancasila. Tetapi dalam hatinya masih tersimpan ruh Islam. Meskipun telah terjadi perubahan azas HMI dari Islam menjadi Pancasila namun HMI (DIPO) tetap menjadikan Islam sebagai landasan juangnya. Konsistensi mereka terhadap Islam tampak pada saat mereka menyiasati isi dari Anggaran Dasar HMI sehingga tidak bertentangan dengan kehendak penguasa tetapi juga tetap membawa spirit keislaman.



Seperti kita ketahui bersama bahwa awalnya HMI (DIPO) berazaskan Islam yang tertuang dalam Pasal 3 Anggaran Dasar HMI. Namun semenjak diberlakukannya azas tunggal, HMI merubah isi Anggaran Dasar. Pada Anggaran Dasar pasca diberlakukannya azas Tunggal Pancasila, ditambahkan 1 (satu) pasal tentang identitas, yaitu Pasal 3 Anggaran Dasar yang berbunyi bahwa ”HMI menghimpun mahasiswa yang beridentitaskan Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Pasal tentang azas terdapat pada Pasal 4 Anggaran Dasar yang berbunyi ”organisasi ini berasaskan Pancasila”.



HMI (DIPO) percaya bahwa penguasa itu tidak akan bercokol di tahta tiran selama-lamanya. Mereka percaya suatu saat penguasa itu akan tumbang dan mereka akan kembali lagi pada azas awal dari organisasi ini yaitu Islam.



Dan akhirnya pada Kongres Jambi 1999 HMI benar-benar kembali ke Khittah awal. Mereka kembali mengenakan Islam sebagai azas organisasi.



Seperti itulah analogi dualisme HMI bahwa ternyata keduanya sama-sama benar. Benar menurut ukuran dan sudut pandang masing-masing. HMI (MPO) merupakan cerminan orang-orang yang konsisten terhadap apa yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran. Sedangkan HMI (DIPO) ialah cerminan orang-orang yang terpaksa berucap kata kafir walaupun sebenarnya dalam hati mereka tetap beriman. Hal ini dilakukan semata-mata untuk melindungi dirinya dari bahaya para tiran, baik tiran agama maupun tiran politik.



Dengan kembalinya azas HMI (DIPO) menjadi Islam, maka tidak seharusnya kedua organisasi ini, baik DIPO maupun MPO, untuk tetap membiarkan perpecahan ini terjadi. Tidak ada alasan lagi bagi HMI DIPO dan MPO untuk berpecah. Karena akar permasalahan perpecahan tersebut sudah tidak ada lagi. Keduanya sudah sama-sama berazaskan Islam.[]



Oleh: Yasser Arafat


Ketua Bidang Pembinaan Anggota


HMI Cabang Surakarta

0 Kommentarer:

Post a Comment