Membangun Lingua Franca


Seseorang terhubung dengan orang lainnya melalui komunikasi. Tanpa komunikasi mustahil interaksi antar manusia terjadi. Oleh karena itu, menjadi satu hal yang penting bagi kita untuk menjaga keharmonisan interaksi antar sesama kita dengan menjaga komunikasi yang baik. Alih-alih ingin membuat hubungan semakin harmonis, akrab, ataupun solid, bisa jadi karena kesalahan sedikit dari cara berkomunikasi kita, malah pertengkaran yang timbul. Ya, itu tadi titik ekstrimnya. Atau mungkin pernah kita alami ketika kita sedang asyik berdiskusi atau ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman, tiba-tiba ada salah satu teman kita yang tiba-tiba salah tangkap maksud pembicaraan, arah pembicaraan, bahkan dia malah bahas masalah lain yang tidak ada kaitannya dengan topik pembicaraan. Jaka sembung bawa golok, alias ga nyambung…..bete kan??


Nah, bagaimana sih supaya itu tidak terjadi dalam dialog atau komunikasi yang biasa kita lakukan? Disinilah pentingnya lingua franca atau bagaimana kita membangun kesefahaman bersama dalam pola komunikasi kita. Dalam tulisan ini akan dibahas hal-hal mendasar yang berkaitan dengan cara membangun lingua franca.


Dalam suatu aktifitas komunikasi/dialog -pembicaraan antar dua orang atau lebih- minimal harus ada tiga unsur. Pertama, Komunikator yaitu orang yang menyampaikan pesan. Kedua, Komunikan orang yang menerima pesan. Dan ketiga, pesan itu sendiri. Dari sini, dapat kita pahami bahwa komunikasi sebenarnya adalah aktifitas menyampaikan pesan secara timbal balik antar komunikator dengan komunikan.


Selanjutnya, bagaimana cara kita agar tepat menyampaikan pesan atau menerima pesan? Perlu dipahami bahwa pesan yang dimaksud berupa ide-ide yang ada di dalam benak komunikator lalu dituangkan berupa bahasadengan maksud agar sampai dan dipahami oleh komunikan. Cara menyampaikannya tentu bisa dengan bahasa verbal –diucapkan dengan lisan- ataupun non verbal. Bahasa non verbal misalkan, tulisan, gambar/simbol-simbol, atau bahasa isyarat.


Yang terpenting dari capaian pengiriman pesan ini adalah pesan dapat di pahami oleh komunikan dengan benar, dan pesan itu adalah sebuah pesan yang benar. Agar tidak terjadi kesalahan ataupun kesalahpahaman.


Yang harus diperhatikan adalah bahasa yang digunakan sebagai pesan haruslah bahasa yang sama-sama dipahami, baik oleh komunikator maupun komunikan. Tidak jadi masalah apabila orang pertama menggunakan bahasa sunda dan orang kedua menggunakan bahasa indonesia dalam komunikasi, asalkan kedua orang tersebut paham bahasa sunda dan bahasa indonesia. Selanjutnya perlu dipahami apa pokok masalah yang sedang dibicarakan, khususnya dalam diskusi perlu diperjelas rumusan masalah dan batasan masalahnya.


Tentunya dalam diskusi suatu hal menjadi rumusan masalah yang akan didiskusikan apabila antar orang yang satu dengan orang yang lainnya berbeda pendapat atau penilaian tentangnya. Kalau pendapat dan penilaiannya sudah sama, ya bukan diskusi namanya. Dan kalau tidak dapat solusi, ditambah cuma pingin memenangkan masing-masing pendapatnya, ya debat namanya.


Hal penting berikutnya adalah baik komunikator ataupun komunikan harus bisa menilai dan mengukur benar salahnya pesan yang disampaikan. Tujuannya jelas agar bisa membedakan mana pesan yang benar dan pesan yang salah. Ukuran pertama dari kebenaran suatu pesan adalah adanya kesesuaian antara isi pesan -yang berupa ide-ide komunikator- dengan realitas yang dimaksud dalam pesan tersebut. Misalkan, sebuah pesan “Budi pergi ke pasar” adalah benar apabila pada kenyataannya Budi memang pergi ke pasar, dan salah apabila pada kenyataannya Budi tidak pergi ke pasar tetapi ke tempat lain selain pasar. Ukuran kebenaran yang kedua adalah, tidak ada kontradiksi dalam isi pesan tersebut. Misalkan, sebuah pesan “Dodi adalah anak yang jujur dan suka berbohong” ini adalah suatu pesan yang salah karena dalam kenyataan tidak akan pernah bertemu dalam satu objek, satu keadaan, dan satu waktu, sifat jujur dan suka berbohong –kontradiksi-.


Ketika sudah dipahami ukuran-ukuran dari kebenaran maka dari situ kita bisa menurunkan beberapa sifat dari kebenaran itu sendiri. Yaitu:


1. Universal: diakui dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun.


2. Argumentataif: dapat dijelaskan alasan kebenarannya.


3. Ilmiah: dapat dibuktikan kebenarannya karena ada realitasnya.


4. Rasional: dapat diterima akal sehat.


5. Manusiawi: tidak perlu dipaksakan atau diberi sogokan untuk menerima itu adalah suatu kebenaran.


6. Mutlak: nilainya adalah pasti karena diukur kesesuaian dengan realitasnya.


Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah kekonsistenan kita dalam berdialog. Baik konsisten dalam menggunakan bahasa yang sama-sama dipahami oleh komunikator dan komunikan, konsisten dalam merumuskan dan memberi batasan suatu masalah, maupun konsisten dalam menggunakan ukuran-ukuran dan menerapkan sifat-sifat kebenaran. Selamat membangun lingua franca.

2 Kommentarer:

Ardeen Mid Yusasif

Terima kasih atas referensinya kanda
izin untuk mengambil ilmunya
salam sukses dari komisariat PTK UPI Bandung

Anonymous

goood

Post a Comment