Resolusi Antipenistaan Agama


Yasser Arafat, SH


Wacana penistaan agama kembali menghangat. Semenjak kemunculan film kontroversial Innocence of Muslims, dunia kembali dipenuhi wacana tersebut. Film yang dianggap menghina Nabi Muhammad itu menuai kecaman luas khususnya di sejumlah negara Islam, tidak terkecuali di Indonesia sendiri. Aksi protes terjadi di sejumlah negara Islam. Demonstrasi yang berujung pada kericuhan pun marak dikabarkan media nasional maupun internasional.


Namun, yang menarik untuk dicermati adalah sikap Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pascamunculnya film tersebut. Presiden SBY yang mengikuti Sidang ke-67 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tergerak untuk mewacanakan protokol antipenistaan agama.


Sebetulnya, pewacanaan ini bukanlah kali pertama muncul. Usulan resolusi antipenistaan agama telah dibahas dalam sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Jenewa, Swiss pada 26 Maret 2009, yang disampaikan Pakistan mewakili 56 negara Islam. Usulan itu menyatakan perlu dituangkan sebagai resolusi PBB guna membangun keseimbangan antara kebebasan dan penghormatan agama. Meski diloloskan Dewan HAM PBB, namun dalam pemungutan suara yang dilakukan oleh 47 negara anggota Dewan HAM PBB negara-negara barat menolak resolusi tersebut karena dianggap mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi.


Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah memang aturan penistaan agama ini diperlukan keberadaannya? Apa urgensi dari diaturnya larangan penistaan agama ini?


Singkatnya, bahwa di masyarakat, hubungan yang terjalin antara manusia yang satu dengan lainnya sering kali memunculkan kepentingan yang saling berbeda. Perbedaan kepentingan tersebut memiliki potensi untuk menimbulkan gesekan di masyarakat. Untuk itu, keberadaan hukum diperlukan untuk mengatur agar perbedaan kepentingan yang ada di masyarakat tidak berujung pada friksi.


Begitu juga dengan persoalan agama di masyarakat. Masing-masing agama memiliki simbol-simbol suci dan keyakinan yang sakral. Fakta berbicara, persoalan agama ini merupakan persoalan yang sering kali menjadi pemantik pertikaian di masyarakat. Dengan berlindung di balik kebebasan berpendapat dan berekspresi, ada sebagian orang nonmuslim membuat film, kartun, dan tulisan berisi penggambaran sosok Nabi Muhammad hingga pada akhirnya memunculkan kecaman lantaran sosok tersebut digambarkan begitu hina. Padahal Nabi Muhammad merupakan sosok suci yang diagungkan dalam agama Islam.


Jika ini dibiarkan terus menerus tanpa hadirnya hukum untuk mengatur batasannya, bukan tidak mungkin perang antaragama akan terjadi. Bukankah banyak orang rela mati untuk membela agamanya?


Dari sini, alasan negara-negara Barat menolak aturan larangan penistaan agama menjadi sangat lemah untuk dipertahankan. Jika kebebasan berekspresi memang benar diberikan ruang seluas-luasnya, mengapa Barat hingga hari ini masih melarang orang untuk mengeluarkan pernyataan kebencian atau hate speech? Oleh sebab itu, konsekuensi logis dari penerimaan Barat terhadap larangan hate speech juga seharusnya diikuti dengan larangan penistaan agama.


Kembalikan persoalan ini pada hati nurani kita masing-masing. Apakah rela jika simbol suci dan sakral yang ada di agama kita dihina? Di Amerika pernah juga ada protes yang dilayangkan atas penghinaan yang dilakukan oleh Normal Bob Smith saat dirinya membuat website Jesus Dress Up. Hingga kini website tersebut pun masih ada. Website tersebut berisi Jesus yang tengah disalib dengan hanya menggunakan celana dalam dan netters bisa mendandani Jesus dengan beragam pakaian aneh.


Website tersebut jelas merupakan bentuk penistaan terhadap agama Kristen. Maka tidak heran jika saat website itu pertama kali muncul mengundang protes. Ini menunjukkan bahwa penistaan tidak hanya menimpa agama Islam saja, tetapi semua agama pun bisa mengalami penistaan. Bahkan belakangan dukungan untuk adanya aturan penistaan agama tidak hanya datang umat Islam saja. Seperti diberitakan Antaranews, Selasa 25 September 2012, Gereja Koptik Mesir mendukung Syeikh Agung Al Azhar, Prof. Dr. Ahmed Al Tayeb yang menyerukan pelarangan global mengenai penistaan agama. Pemimpin Gereja Koptik Baba Bakhomious menyatakan pihaknya menolak keras penistaan agama dalam bentuk apa pun, dan mendukung seruan Al Azhar mengenai pelarangan global penistaan agama. Baba Bakhomious pada Senin (24/9) memimpin jajaran pimpinan Gereja Koptik menemui Syeikh Agung Al Azhar untuk menyampaikan dukungan tersebut dan menegaskan penolakannya atas upaya penistaan agama.


Di Indonesia sendiri aturan mengenai penistaan agama tersebut sudah ada sejak zaman Presiden Soekarno yakni Undang-Undang (UU) Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU tersebut pada awalnya merupakan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, namun semenjak berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1969 Penetapan Presiden tersebut berlaku sebagai UU.


Tidak Logis
Belakangan sebagian orang mempersoalkan keberadaannya dan mereka pun menuntut agar UU tersebut dihapus dengan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun MK berpendapat, UU tersebut masih perlu tetap dipertahankan, hanya saja memang perlu dilakukan revisi, baik dalam lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materiil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik.

UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 memang layak untuk dikritisi. Pengaturan yang ada di dalamnya justru tidak mengarah pada penistaan dalam arti penghinaan dan hate speech, namun lebih menjurus pada pembatasan untuk melakukan penafsiran atau kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia dan Departemen Agama beserta pemuka agama dari masing-masing agama tersebut yang memiliki hak untuk menilainya.


Tentu aturan ini menjadi tidak logis jika negara sudah turut campur dalam hal penafsiran. Baik Departemen Agama, pemuka agama dari masing-masing agama, maupun para penganut agama lainnya berada pada posisi yang sama yakni sebagai penafsir agama dan kitab sucinya. Lalu mengapa negara memposisikan salah satu pihak untuk menjadi hakim yang mengadili penafsiran mana yang benar dan penafsiran mana yang sesat?


Departemen Agama maupun pemuka agama bukanlah otoritas yang relevan untuk menilai agama dan keyakinan mana yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran suatu agama. Karena pada hakikatnya, pemahaman mereka saat melakukan penilaian pun berdasarkan atas penafsiran mereka terhadap teks-teks suci dari suatu agama.


Seharusnya, penodaan atau penistaan agama digunakan sebagai bahasa untuk merespons penghinaan terhadap agama, bukan untuk merespons perbedaan penafsiran dan perbedaan pendapat. Aturan mengenai larangan penistaan agama sangat dibutuhkan untuk melindungi kehidupan beragama dalam upaya menjaga ketertiban umum. Namun pada pengaturannya janganlah mengarah pada tindakan pengadilan terhadap pemikiran, pendapat, maupun keyakinan seseorang.


Pemerintah bersama DPR seharusnya memiliki inisiatif untuk menyusun peraturan yang melindungi dan menghormati kebebasan beragama bukan peraturan yang diskriminatif, partisan, memihak dan melindungi kelompok tertentu atas dasar kepentingan politik sesaat. Adanya peraturan yang diskriminatif tersebut seolah kemudian menjadi pemicu kelompok agama mayoritas untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok minoritas yang dicap menyimpang.



Wartawan Joglosemar &
Mahasiswa Pascasarjana FH UNS

Dimuat di Harian Joglosemar, Senin 1 Oktober 2012

0 Kommentarer:

Post a Comment