Sayonara Koalisi Parpol


Yasser Arafat, SH


Perhelatan akbar pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta telah dilaksanakan. Menurut hasil perhitungan cepat dari beberapa lembaga survei, pasangan Jokowi–Ahok mengungguli suara yang diperoleh pasangan Foke–Nara.


Jika memang benar Jokowi–Ahok yang hanya didukung oleh dua partai ini memenangi Pilkada DKI Jakarta, sedangkan Foke–Nara yang didukung oleh banyak partai justru berada di bawahnya, maka tidak berlebihan jika dikatakan koalisi rakyat yang dibentuk oleh pasangan Jokowi–Ahok bisa mengalahkan koalisi banyak partai. Janji Jokowi bahwa koalisi rakyat akan mengalahkan koalisi partai pun, menjadi benar adanya.


Seperti diberitakan Kompas.com pada 25 Agustus 2012 lalu, Joko Widodo atau Jokowi menegaskan bahwa koalisi rakyat yang dibangunnya dengan Basuki Tjahaja alias Ahok akan mengalahkan koalisi partai politik yang mendukung pasangan calon gubernur Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli (Foke-Nara). Menurutnya, dirinya kini dikeroyok partai-partai besar, tetapi Jokowi mengaku tidak takut sedikit pun akan koalisi partai besar.


Meskipun pasangan Jokowi–Ahok pada kenyataannya juga didukung oleh partai politik, pasangan tersebut mengklaim bahwa mereka mampu membangun koalisi rakyat dengan menjaring banyak suara masyarakat yang nonpartisan. Jokowi menegaskan koalisinya adalah koalisi warga DKI Jakarta. Ia yakin jika masyarakat bergerak, partai politik besar tidak akan dapat berkutik. Ia menganalogikan dirinya seperti semut melawan gajah. Gajah banyak tapi semut lebih banyak.


Secara hitung-hitungan matematis dari hasil suara yang diperoleh oleh pasangan cagub dan cawagub DKI Jakarta saat putaran pertama yang disesuaikan dengan koalisi partai politik yang terbentuk pada putaran kedua, pasangan Foke–Nara memang diprediksi akan memenangi pertarungan menuju DKI 1 dan DKI 2 ini.


Berdasarkan penghitungan suara keseluruhan, pasangan Jokowi-Ahok meraup suara sebanyak 1.847.157 atau sebesar 42,60 persen. Pasangan Foke-Nara yang dijagokan menang satu putaran harus puas di posisi kedua dengan jumlah suara 1.476.648 atau sebesar 34,05 persen. Posisi ketiga ditempati oleh pasangan nomor urut empat yaitu Hidayat-Didik dengan perolehan suara 508.113 atau sebesar 11,72 persen. Kemudian posisi pasangan Faisal-Biem ada di posisi keempat dengan perolehan suara 215.935 atau sebesar 4,98 persen. Dua posisi terakhir dihuni oleh pasangan Alex-Nono dengan perolehan suara 202.643 atau sebesar 4,67 persen. Juru kunci dipegang oleh pasangan Hendardji-Riza dengan perolehan suara 85.990 atau sebesar 1,98 persen.


Pada putaran kedua, Foke–Nara diperkirakan mendapatkan suara dari pasangan Hidayat–Didik dan Alex–Nono. Adapun pasangan Faisal–Biem memilih independen tidak memilih siapa-siapa dan Hendardji–Reza mengaku mendukung Jokowi–Ahok karena pasangan ini mengusung perubahan untuk Jakarta dan perubahan itu mustahil diwujudkan oleh incumbent.


Dari peta suara ini, kita mendapatkan perkiraan suara untuk Jokowi–Ahok sebesar 1.933.147 dan Foke–Nara 2.187.404 suara. Perkiraan suara itu belum termasuk dengan suara dari pasangan Faisal–Biem. Andaikata suara dari Faisal–Biem itu ternyata masuk ke Foke–Nara, maka jelas pasangan tersebut tidak akan tertandingi. Begitu juga jika suara Faisal–Biem itu masuk ke Jokowi–Ahok sekalipun, tetap suara Foke–Nara masih tetap unggul tipis atas pasangan Jokowi–Ahok.


Tetapi asumsi matematis yang disajikan tersebut tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Faktanya, pasangan Jokowi–Ahok justru mengungguli pasangan Foke–Nara. Asumsi selanjutnya yang bisa kita hadirkan yakni suara dari pasangan yang kalah pada putaran pertama tidak lagi utuh bulat pada putaran kedua. Instruksi partai tidak lagi dimaknai sebagai sebuah perintah suci oleh sebagian pendukung dan simpatisannya.


Ketidakpercayaan terhadap partai politik memang kini tengah mewabah. Berdasarkan survei yang dilakukan Centre of Strategic and International Studies (CSIS) pada 16-24 Januari 2012 lalu, diperoleh hasil bahwa mayoritas rakyat tidak lagi percaya kepada partai politik, sekitar 87,4 persen. Pada akhir tahun lalu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga menyatakan bahwa kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap partai politik anjlok, hanya tinggal 23,4 persen saja. Disinyalir, penyebabnya lantaran partai politik tidak memiliki idealisme yang jelas dan cenderung mengutamakan kepentingan partai politik ketimbang kepentingan rakyat.


Syahwat Politik
Di tengah sistem demokrasi yang dielu-elukan, ketidakpercayaan terhadap partai politik ini menjadi ironi tersendiri. Pasalnya, sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia meniscayakan adanya sistem kepartaian. Bahkan ada yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider, “Political parties created democracy”. Ini menunjukkan bahwa posisi dan peranan partai politik sangat penting dalam sistem demokrasi.


Masyarakat dewasa ini cenderung skeptis dengan partai politik. Mereka menyatakan partai politik tidak lebih kendaraan politik yang mengusung kepentingan sekelompok elite saja untuk berkuasa. Partai politik tidak ubahnya sebagai organisasi yang hanya memberikan harapan, tetapi minim menjadi kenyataan. Ketidakmampuan mereka mengimplementasikan komitmennya pada masyarakat membuat masyarakat trauma dengan janji-janji surga yang dilontarkan partai politik. Hingga pada akhirnya janji partai politik diidentikkan dengan suatu kebohongan.


Belum lagi tidak sedikit partai politik yang sering loncat-loncat dalam hal dukungan. Hari ini boleh jadi suatu partai tidak mendukung salah seorang kandidat. Tetapi esok hari, siapa yang tahu? Hanya Tuhan dan partai politik saja yang mengetahui pasti kapan suatu partai politik menggadaikan idealisme awal untuk kepentingan tertentu. Hingga muncul anggapan, partai politik hanya berbicara soal kepentingannya, bukan kebenaran dan kesejahteraan rakyat.


Masyarakat kini pun mengalihkan rasa kepercayaannya tidak lagi kepada partai politik, melainkan kepada sosok. Kemenangan Jokowi-Ahok merupakan kemenangan strategi merebut hati masyarakat dengan menyodorkan penokohan Jokowi yang dianggap sebagai kepala daerah yang sederhana, ramah, jujur, bersih dan merakyat.


Tampaknya, tren penokohan pribadi cenderung menguat dibanding tren pencitraan partai politik. Ini bakal menjadi tugas berat bagi partai politik untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap apa yang mereka perjuangkan. Partai perlu membangun paradigma baru untuk menjadikan janji politik tidak lagi sebagai senjata untuk menarik simpati masyarakat, tetapi menjadi motivasi untuk bertindak dan bekerja.


Begitu juga dengan Jokowi dan Ahok yang sementara ini menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih versi quick count. Amanah yang diemban saat ini diharapkan tidak hanya sekadar untuk mengejar syahwat politik pribadi atau golongannya saja, tetapi juga harus benar-benar memberikan solusi untuk DKI Jakarta Baru. []


Wartawan Joglosemar


Dimuat di Koran Joglosemar, Jumat 21 September 2012

0 Kommentarer:

Post a Comment