Standar Ganda Barat Kasus Innocence of Muslims





Yasser Arafat, SH


Penistaan terhadap simbol agama kembali terjadi. Seorang warga California Amerika Serikat keturunan Israel bernama Sam Bacile, memproduksi film penghinaan terhadap kesucian Nabi Muhammad berjudul Innocence of Muslims.


Film penistaan terhadap agama Islam tersebut disebarluaskan melalui Youtube. Sontak, tayangan itu menyulut kemarahan umat Islam di seluruh dunia. Di Mesir, ribuan warga Mesir mendemo kedutaan besar Amerika Serikat (AS) di Kairo, Konsulat AS dikepung warga Libya, Kedutaan besar AS di Indonesia pun tidak luput dari aksi kemarahan umat Islam.


Sebagian kalangan memandang sinis aksi tersebut. Menurut mereka, Nabi Muhammad saja ketika masih hidup memaafkan setiap orang yang menghina bahkan melemparinya dengan batu. Ada pula yang memandang pembuatan film tersebut sebagai bentuk kebebasan berekspresi sebagaimana Salman Rushdie saat membuat buku berjudul Ayat-Ayat Setan. Buku Salman Rushdie telah lama mengobarkan api amarah umat Islam dan membuat darah umat Islam mendidih. Bahkan Ayatullah Khomeini pernah mengeluarkan fatwa mati baginya.


Meski aksi-aksi penistaan agama tersebut dikecam, tindakan nista itu selalu diulang. Pelaku penistaan justru dilindungi seperti Pemerintah Inggris yang melindungi Salman. Mereka menganggapnya sebagai kebebasan berpendapat dan berekspresi.


Di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), memang diatur mengenai kebebasan berpendapat yakni pada Pasal 19 DUHAM yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Tetapi masih ada instrumen hukum internasional lainnya yang perlu diperhatikan.


Pada 2009, PBB mengesahkan Resolusi tentang Penistaan Agama setelah melalui pemungutan suara. Dalam pemungutan yang diselenggarakan sebuah komite khusus Majelis Umum PBB kala itu, sebanyak 76 negara mendukung resolusi, 64 lainnya menentang, dan 42 negara menyatakan abstain. Dalam salah satu poin Resolusi PBB tersebut berbunyi, “Mengutuk tanpa kecuali segala bentuk manifestasi intoleransi agama, penghasutan, penghinaan, atau kekerasan terhadap orang-orang atau komunitas berdasarkan etnik atau kepercayaan agama di manapun terjadi.”


Berpendapat dan berekspresi memang merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi jika pendapat dan ekspresi yang ditunjukkan justru menghina agama tertentu, maka perbuatannya bisa dijerat hukum.


Kembali kepada film Innocence of Muslims, bahwa film tersebut dibuat oleh warga negara AS dan dibuat di negara tersebut. Dengan demikian tidak berlebihan rasanya jika umat Islam mendesak Presiden AS, Barrack Obama meminta maaf dan menangkap Sam Bacile serta menghentikan peredaran film tersebut.


Sikap seperti itu perlu ditunjukkan oleh Obama selaku Presiden AS dan juga negara-negara barat lainnya. Negara-negara Barat harus konsisten mengecam film tersebut, sama seperti ketika mereka mengecam orang-orang yang menyangkal atau menghina Holocaust. Bagi negara-negara Barat, peristiwa Holocaust yang merupakan Nazi Jerman ini dianggap peristiwa suci yang tidak boleh dipertanyakan. Hari Holocaust diperingati oleh Kerajaan Inggris sejak tahun 2001. Di negara Eropa lain, seperti Swedia, Italia, Finlandia, Denmark, Estonia dan tentu saja Jerman, peringatan yang sama dilakukan. Sementara Israel punya Yom Hashoah vea Hagvora atau Hari-hari Peringatan Holocaust dan Keberanian Bangsa Yahudi yang digelar hari ke-27 bulan Nisan, bulan Ibrani, yang biasanya jatuh pada bulan April (Wikipedia).


Ketika umat Islam marah kepada Salman Rushdie yang membuat buku Ayat-Ayat Setan dan Geert Wilders yang membuat kartun Nabi Muhammad di Denmark, Barat melindunginya atas nama kebebasan berekspresi. Tetapi saat dihadapkan pada peristiwa Holocaust, Barat begitu kencangnya mengecam mereka yang meragukan dan menghina sejarah Holocaust.


Negara Jerman menyiapkan sanksi hukum bagi para penyangkal apalagi penghina Holocaust yang berlaku bagi orang di dalam dan di luar Jerman. Jika ada orang Indonesia di luar Jerman yang meragukan, mempertanyakan bahkan menolak Holocaust, maka orang tersebut akan tetap dihukum dan bisa masuk ke wilayah Jerman.


Sebegitu sakral dan sucinya Holocaust bagi Jerman dan negara-negara Barat lainnya. Tetapi untuk pelecehan terhadap Islam dan Nabi Muhammad yang diagungkan dan disucikan umat Islam, seolah Barat menutup mata. Para pelaku pelecehannya justru dilindungi dengan alasan kebebasan beragama. Sungguh standar ganda yang nyata-nyata diperlihatkan oleh negara-negara Barat.


Rekayasa
Kemarahan umat Islam terhadap penghinaan yang dilakukan oleh Salman Rushdie, Geert Wilders, Sam Bacile merupakan sikap yang wajar. Jika negara-negara Barat menganggap bahwa menghina Islam dan Nabi merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, lalu mengapa hanya karena meragukan Holocaust saja seseorang bisa dijerat dengan hukum?


Di sisi lain, kemarahan umat Islam yang diekspresikan di jalanan sangat rentan untuk ditunggangi oleh kepentingan kelompok tertentu. Seperti aksi kemarahan umat Islam yang terjadi di Libia. Berawal dari demonstrasi besar-besaran berujung pada pembunuhan terhadap Duta Besar AS di Benghazi, Libia, yaitu Chris Stevens. Peristiwa pembunuhan itu digambarkan sebagai bentuk balas dendam umat Islam lantaran Nabi yang mereka agungkan telah dihina oleh salah seorang warga AS. Tetapi ada pihak yang meragukan pembunuhan itu dilakukan oleh demonstran. Mereka menduga ada rekayasa di balik pembunuhan tersebut.


Pembunuhan terhadap Dubes AS tersebut merupakan pembunuhan yang terencana. Disinyalir pembunuhan itu dilakukan oleh kelompok teror yang mengatasnamakan agama Islam dan selama ini menjadikan Dubes AS sebagai target teror. Seperti diberitakan di kompas.com, Kamis 7 Juni 2012, disebutkan kantor misi diplomatik AS di Benghazi, Libia, diserang pada malam hari, Rabu 6 Juni 2012 namun tidak ada korban. AS mengecam serangan terhadap misi diplomatiknya di Benghazi. Menurut salah seorang pejabat AS, belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Namun, seorang pejabat keamanan di Benghazi mengatakan, serangan itu diklaim oleh Kelompok Tahanan Omar Abdelrahman, yang meninggalkan sepucuk surat ”yang mengancam kepentingan AS” di Libya.


Pada 22 Mei 2012, kelompok itu mengklaim serangan terhadap kantor Komite Internasional Palang Merah. Serangan terhadap misi AS itu dilakukan setelah kematian Abu Yahya al-Libi, tokoh propaganda Al Qaeda dan seorang warga negara Libia yang menjadi sasaran serangan pesawat tak berawak AS di Pakistan.


Cukup beralasan jika dikatakan pembunuhan terhadap konsulat AS di Benghazi tersebut merupakan tindakan teror yang menunggangi atau memanfaatkan momentum demonstrasi besar-besaran mengecam film yang menghina Nabi Muhammad. Tidak menutup kemungkinan penunggangan oleh kelompok teror tersebut dilakukan di negara lain termasuk Indonesia. Desakan kepada AS untuk menjerat Sam Bacile dengan hukum karena telah menghina Nabi Muhammad perlu dilakukan. Tetapi waspadai adanya penunggangan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang justru akan membuat citra Islam sebagai agama kekerasan menjadi benar adanya.


Wartawan Joglosemar


Dimuat di Koran Joglosemar, Rabu 19 September 2012


 

 

 

0 Kommentarer:

Post a Comment