SELAMATKAN NASIONALISME KITA*

endik dan nasionalismenya


Oleh:  Aldian Andrew Wirawan



Ketua Bidang Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan HMI Kom FH UNS

Sekali lagi jargon “ nasionalisme“ kembali dikobarkan di berbagai daerah di tanah air. Demam nasionalisme akhir akhir ini yang sedang melanda sebagian besar rakyat Indonesia diawali oleh negara tetangga kita Malaysia  yang mengklaim beberapa hasil budaya asli negeri ini sebagai milik mereka untuk promosi pariwisatanya . Penulis sengaja memberi penekanan pada kata nasionalisme karena nasionalisme yang sekarang banyak didengungkan sebagian orang tersebut pengertian sangat sempit dan bahkan bertentangan dengan nasionalisme yang dicita citakan oleh pendiri bangsa ini. Nasionalisme menurut pandangan Soekarno dalam pidatonya yang berjudul Indonesia menggugat yang disampaikan di depan pengadilan kolonial Belanda pada 18 Agustus 1930 adalah “adanya rasa persamaan sebagai rakyat yang tertindas oleh penjajah kolonial dan ingin mewujudkan kemerdekaan sejati baik lahir maupun batin bagi seluruh rakyat indonesia…nasionalisme indonesia adalah nasionalisme yang positif, nasionalisme yang mencipta, nasionalisme yang anti chauvinist…”. Ernest Renan dalam bukunya What Is A Nation menyebut nasionalisme Soekarno ini sebagai kehendak untuk bersatu (le dwsire d’entre ensemble). Nasionalisme ini membentuk persepsi dan konsepsi identitas sosial kaum pergerakan di seluruh negara jajahan sebagai suatu kekuatan politik yang tidak bisa disepelekan oleh penguasa kolonial. Tujuan nasionalisme ini adalah pembebasan dari penjajahan dan menciptakan masyarakat yang adil serta tidak ada lagi penindasan. Tentu jika dilihat dalam perspektif di atas nasionalisme yang sesungguhnya tidaklah bertujuan untuk mencintai tanah air dengan kacamata kuda namun lebih dari itu yakni mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang merdeka dari penjajahan serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.


Setelah 64 tahun negara Indonesia merdeka, tujuan dari dibentuknya negara ini sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan UUD 45 dan pidato Soekarno di atas masih jauh dari harapan. Kelaparan, kemiskinan serta kebodohan masih menjadi bagian dari cerita keseharian rakyat Indonesia. Tentu ini ironis mengingat melimpahnya Indonesia akan Sumber daya Alam dan Sumber daya Manusia. Sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia ketertinggalan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari bentuk penjajahan baru yang disamarkan dengan nama globalisasi. Penjajahan bentuk baru ini merupakan kelanjutan dari imperialisme tua yang dilakukan oleh negara negara maju. Jika dulu Indonesia dijajah dengan angkatan perang serta organisasi dagang klasik maka kini penjajah menindas Indonesia dalam bentuknya yang modern yaitu organisasi dagang internasional serta korporasi multinasional (J.Petras, 2000). Derasnya informasi yang masuk menyebabkan arus globalisasi seakan tidak bisa dibendung lagi di negara ini. Kepedulian sosial serta rasa nasionalisme hanya jadi jargon ketika dibutuhkan. Padahal jika kita mau belajar dari sejarah negara ini yang sebagian besar memeluk agama Islam, perjuangan mencapai kemerdekaan pada waktu lampau sebenarnya juga dipelopori oleh umat Islam lewat cara cara yang cerdas. Berdirinya organisasi modern Serikat Dagang Islam kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) adalah awal dari perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme Belanda . Dalam tempo waktu 7 tahun saja  SI mempunyai anggota sebesar 2 juta orang, Spirit yang dibawa  SI adalah nilai-nilai Islam yang menentang kedzoliman kolonialisme. Sarekat Islam berhasil karena perjuangan melawan penjajahnya bersifat kerakyatan dan tidak serta merta melupakan keadaan sosiologis rakyat Indonesia. Namun alih alih belajar dari situ, sekelompok kecil umat justru melakukan aksi pemboman dan serangkaian teror untuk melawan penjajahan model baru ( baca: globalisasi) tersebut. Hasilnya sudah pasti merugikan baik bagi negara maupun umat Islam pada khususnya.


Lalu apa yang bisa dilakukan sekarang bagi kita mahasiswa yang sekarang aktif di organisasi mahasiswa ? Penulis mencatat beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan solusi. Pertama sudah saatnya mahasiswa turun dari menara gadingnya untuk kembali terjun memberi pemahaman nasionalisme yang utuh dan berdasar atas spirit islam yaitu negara yang bebas dari penjajahan dalam bentuk apapun dan menciptakan masyarakat adil makmur yg diridhoi Allah SWT. Meminjam istilah ideolog revolusi Islam Iran, Ali Syariati, kaum intelektual harus menjadi “nabi” yang membuka mata dan menunjukkan arah bagi rakyat dan bangsanya untuk bangkit melawan segala keterpurukan. Kedua sebagai bagian dari umat Islam sudah menjadi kewajiban untuk menyebarkan nilai- nilai islam sebagai rahmat semesta alam dengan dasar Tauhid, persamaan, keadilan sosial serta musyawarah dalam rangka menjalankan misi khalifahnya di muka bumi. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Al Mumtahanah ayat 8 : Sesungguhnya Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari neegerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang berbuat adil. Ketiga kita harus bisa memfilter arus globalisasi yang buruk dengan menggunakan nilai nilai dalam islam sebagai alatnya. Jangan sampai kemajuan zaman ini justru menyebabkan kita terjebak ke dalam nihilisme. Globalisasi harus dimaknai sebagai sebuah kemajuan menuju kesempurnaan yang sejati yaitu Allah. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Hujurat ayat 13: Kami jadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku- suku agar kamu saling mengenal. Yang palig mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa.


Semoga apa yang penulis sampaikan dalam makalah singkat ini dapat dijadikan bahan yang bisa dibincangkan bersama dalam diskusi kali ini. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb



* Disampaikan pada diskusi KAMMI 1 september 2009 dengan tema islam cinta damai di UNS yang sejuk dan (masih) hijau. Penulis adalah Ketua Bidang PerguruanTinggi dan Kemahasiswaan HMI Becak UNS.




13 Kommentarer:

lawan.us

setuju banget broooow lanjutkan?????????

ressay

jadi inget ma diskusinya. hehehe....

Tegor

Nah yang kayak-kayak gitu itu lhoh,perlu di tujuk-tunjukkan ame personil-personil yang buta ame Islam.
Biar ngerti jasa Islam di negara ini.

masmpep

"mahasiswa turun dari menara gading". hati-hati mas, jangan-jangan mahasiswa tak pernah ada di menara gading itu. kabarnya menara gading itu adalah kompleksitas ilmu, teori, buku-buku. kabarnya saat ini mahasiswa mulai jauh dari gadingnya itu....

jadi, ketika harus turun ke jalan, ke masyarakat, ke komunitas, "menyebarkan nilai-nilai", saya khawatir nilai-nilai itu tak pernah terbangun dalam entitas mahasiswa kita.

salam blogger,
masmpep.wordpress.com

raza23

salam.

sapakat mas pebri,, skrang mahasiswa udah mulai dibentuk menjadi tenaga2 pekerja yang siap untuk dipekarjakan dan mereka tidak sadar akan hal itu.. untuk output yang tepat memang harus diberi input yang mantap pula.. dan menara gading(budaya diskusi, pertukaran ilmu) udah mulai dikikis dari dunia akademis..

salam.

ressay

Itu kalau kita memandang mahasiswa secara umum.

Kalau kita memandang mahasiswa Islam, khususnya di HMI, brapa sih kader HMI yang saat ini mencoba mempelajari dua kutub keilmuan (literal dan liberal)? Maksudnya, brapa kader HMI yang mau belajar filsafat, teori2 sosial, disiplin ilmunya diperkuliahan dengan belajar agama secara tekstual?

Aku pikir ini menjadi penting.

Di luar HMI, bukan hanya orang-orang yang pandai berlogika, berfilsafat, tetapi di luar HMI banyak orang yang saat ini terkungkung dalam pola pikir tekstual. Ini yang harus mampu diimbangi oleh HMI.

Jadi merindukan sosok Cak Nur. Dia bisa tampil layaknya seorang yang liberal. Dia juga bisa tampil seperti orang yang tekstual.

heruyaheru

nice post..

aldian

salam perjuangan
@yasser: hohoho...seru bro diskusinya...
@mas febri: yup..siap mas...
@anung: mana tulisanmu kawan??hohohoho...

ressay

@aldian
anung itu sedang sibuk mengurusi pengurusnya yang liar-liar. hehehe...jadi ndak sempat nulis.

masmpep

@ ressay
cak nur tak perlu dirindukan. rindukan saja aku, ha-ha-ha.

kutub keilmuan 'literal' dan 'liberal'. saya kesulitan memahami konteks saudara ressay ini. sebelumnya saya mengomentari soal tradisi keilmuan--yang secara naif disederhanakan sebagai 'menara gading', dan tradisi aksi--atau dalam bahasa aldian: 'turun dari menara gading'.

nah, 'literal' dan 'liberal' yang dimaksud ressay tampaknya masih berada dalam kuadran 'keilmuan a.k.a menara gading'. ressay belum bicara 'turun dari menara gading'.

dalam 'kemenaragadingan' ressay pun mengandaikan bahwa 'literal' vis a vis 'liberl'. menurut saya keduanya berbeda konteks dan tak dapat dipertentangkan. seorang literalis harus memiliki landasan keilmuan yang kuat. dan tak bisa tidak didapat melalui membaca, menelaah, dan berdiskusi. sedang liberalis adalah satu sikap, satu aksiologi dari sistem nilai keilmuannya yang ia anut. jadi seorang literal sekaligus liberal. ia bisa menjadi seorang literal dan puritan-fanatik. ia bisa menjadi liberal dengan menelaah-ulang teks-teks literal.

begitu.

ressay

@masmpep
sebetulnya aku menanggapi dua komentar Anung.

Komentar Anung berbicara tentang terkikisnya budaya diskusi atau yang disebut oleh aldi sebagai menara gading. Dan aku memandang, budaya diskusi HMI pun tema-temanya sudah tidak berimbang lagi. Apalagi jika ditanya kapasitas pengetahuan dari kader, aku masih cukup meragukannya. Dalam artian bahwa, tidak semua kader bisa memposisikan diri seperti gambaran yang ada pada paragraf terakhir komentarmu mas.

Pada realita yang sering aku lihat, sering kali literal vis a vis dengan liberal. Dan di HMI lah keduanya harus dapat berjalan sinergis.

HMI Hukum UNS, harus dapat menjadi komisariat percontohan untuk konseptualisasi. Baik konseptualisasi ideologi maupun konseptualisasi aksi ke masyarakat.

Setidaknya, ada dua hal yang bisa jadi lahan garap di masyarakat sekitar komisariat, yaitu masjid dan kegiatan-kegiatan profesionalitas hukum yang melibatkan masyarakat.

bester

omongane keduwuren,,, mati tegang kalian nanti..


Smile Pissss,,,

ressay

Biasa ae cuk.

Post a Comment